PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Sebelum membahas mengenai kemiskinan dan kesenjangan pendapatan kita membahas apa penyebab dan latar belakang terjadinya kemiskinan. Karena kemiskinan menjadi satu masalah yang besar dari dulu hingga sekarang apalagi sejak terhempas dengan pukulan krisis ekonomi dan moneter yang terjadi sejak tahun 1997. Kemiskinan seringkali dianggap sebagai gejala rendahnya tingkat kesejahteraan semata padahal dasarnya kemiskinan merupakan gejala yang bersifat komplek dan menyeluruh. Beban kemiskinan yang paling besar terletak pada kelompok-kelompok tertentu. Kaum perempuan pada umumnya merupakan pihak yang paling dirugikan. Karena kita wanita sering menanggung beban hidup yang lebih berat daripada kaum pria.
Berbagai upaya dan kebijakan pembangunan telah dilakukan pemerintah selama ini terutama untuk memberikan peluang pada masyarakat miskin untuk meningkatkan kesejateraan. Salah satu bentuk upaya tersebut melalui pendekatan pemberdayaan keluarga yang mengacu pada UU No.10 tahun 1992 tentang perkembangan kependudukan dan pembangunan keluarga sejahteraan yang pelaksanaannya diatur dalam inpres nomor 3 tahun 1996 tentang pembangunan keluarga sejahtera dalam rangka peningkatan penanggulangan kemiskinan.
1.2 Permasalahan Pokok
Dua masalah besar yang terjadi di LDCs adalah ketimpangan yang besar dalam distribusi pendapatan (yang dimaksud dengan kesenjangan ekonomi) dan tingkat kemiskinan (presentase dari jumlah populasi yang hidup dobawah garis kemiskinan). Mengapa dikatakan besar ? kerana jika dibiarkan secara cerlarut-larut pada akhirnya akan menimbulkan konsekuensi politik dnan sosial yang sangat serius. Sebuah amukan dari rajyat miskin yang sudah tidak tahan lagi menghadapi kemiskinannya maka akan daooat menyyebabkan hancurnnya atau jatuhnya suatu pemerintahan. Ingatkah tragedi Mei 1998? Yang menjadi pertanyaan (hipotesis) hingga sekarang. Andaikan tingkat kesejahteraan masyarakat indonesia sama dengan misalanya di swiss, apakah mungkin akan begitu ngotot berdemonstrasi hingga akhirnya membuat rezim soeharto jatuh pada tahun peristiwa tersebut.
Pada masa ode baru para pembuat kebijakansanaan dan perencana pembangunan ekonomi dijakarta percaya dan yakin bahwa proses pembangunan ekonomu yang pada walnya terpusatkan hanya di jawa, khushnya jakarta dan sekitarnya dan hanya disektor-sektor tertentu saja pada akhirnya akan menghhasilkan apa yang dimaksud dengaan trickle down effects “cucuran kebawah” berdasarka pemikirran tersebut pada masa awal orde baru hingga akhir tahun 1970-an, strategi pembangunan ekonomu yang di anut oleh pemerintahan soeharto lebih berorientasi kepada pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Untuk mencapai tujuan tersebut maka pusat pembangunan ekonomi nasional diimulai di pulau jawa dengan alasan bahwa semua fasilitas yang sangat dibutuhkan seperti pelabuhan,jalan raya dan kereta api, telekomunikkasi, kantor-kantor, gedung-gedung dan infrasruktur pendukung lainnya lebih tersedia di jawa khususnya daerah jakarta yang secara potensial memiliki kemapuan besar untuuk menghasiilkan NTB yang tinggi. Dan mereka percaya bahwa nantinya hasil dari pembangunan itu akan ‘menetas’ ke sektor-sektor dan wilayah indonesia lainnya.
Namun sayang sejarah menunjukan bahwa setelah hampir 30 tahun lebih sejak Pelita 1 tahun 1969, pada kenyataannya efek menetas tersebut sangatlah kecil (bahkan bisa dikatakan sama sekali tidak ada) atau bisa dikatakan juga mengalir kebawahnya sangat lambat. Akibat dari strategi tersebut dapat dilihat pada tahun 1980-an hingga krisis ekonommu terjadi pada tahun 1997. Ppada pelita III strategi pembangunan mulali diubah tidak lagi hanya terfokustetapi peningkatan pada pertumbuhan ekonomi tetapi kesejahhteraan masyarakat menjadi tujuan utama dari pembangunan.
Hingga menjelang terjadinya krisis ekonomi sudah banayk dilaksanakan program-program pemerintah yang bertujuan untuk mengurangi jumlah orang miskin dan pertimbangan pendapatan antara kelompok miskin dan kelompok kaya ditanah air.
Berkaitan dengan masalah diatas, ada dua pertanyaan penting yang akan dicoba didalam bab ini, yaitu sebagai berikut :
(1) selama pemerintahan orde baru, faktor-faktor apa yang membuat kesenjangan dalam distribusi pendapatan dan kemiskinan tetap ada, walaupun pembangunan ekonomi waktuu itu berjalan terus dengan baik dan indonesia memiliki laju pertumbuhan yang relatif tinggi ?
(2) apakah hipotesis kuznets, kesenjangan ekonomi akan bertambah buruk dan pada tahap akhir pembangunan kesenjangan akan dengan sendirinya berkurang (menghilang) tidak berlaku untuk kasus indonesia ?
2.1 Konsep Dan Definisi
Besaranya kemiskinan dapat diukur dengan atau tanpa mengacu kepada garir kemiskinan. Konsep yang mengacu keapada garis kemiskinan disebut kemiskinan relatif. Kemiskinan relatif adalah suatu ukuran mengenai kesenjangan di dalam distribusi pendapatanyang biasanya distribusi pendapatan, yang biasanya dapat didefinisikan didalam kaitannya denga tingkata rata-rata perkapita. Dinegara-negara maju kemiskian relatif dapat bebrbeda menurut negara atau periode didalam suatu negara, kemiskinan absolut adalah derajat dari hidup tidak dapat terpenuhi. Ini adalah suatu ukuran tetap didalam bentuk suatu kebutuhan kalori minimum ditambah komponen-komponen nonmakanan yang juga sangat diperlukan untuk bertahan hidup, walaupun kemiskinan absolut sering dikatakan kemiskinan yang ekstrem, tapi maksud dari yang terakhir ini bisa bervariasi, tergantung pada interprestasi setempat.
3.1 Pertumbuhan, kesenjangan, dan kemiskinan
3.11 Hubungan anntara pertumbuhan dan kesenjangan : hipotesis kuznets
Data tahun 1970-an dan tahun 1980-an tentang pertumbuhan ekonomi dan distribusi pendapatan di banyak LCDs, terutama negara-negara yang proses pemmbangunan ekonominya sangat pesat dan denga laju peertumbuhan ekonomi yang tinggi, serperti indonesia menunjukan seakan-akan ada suatu korealsi positif anatara laju pertumbuhan ekonomi dengan tingkat kesenjangan dalam distribusi pendapatan: semakin tinggi pertumbuhan PDB atau semakin besar pendappatan per kapita semakin besar perbedaan antara kaum miskin dan kaum kaya. Dalam hal pasar buruj membesarnya kesenjangan pendapatan dari kepala keuarga dan semakin besarnya saham pendapatan dari istri didalam total pendapatan keluarga merupakan dua faktor penyebab penting.
Berdasarkan fakta ini, muncul pertanyaan : kenapa terjadi suatu trade-off antar pertumbuhan dan kesenjangan ekonomi dan untuk berapa lama? Literatur mengenai evolusi attau perubahan kesenjangan pendapatan pada awalnya didominasi oleh apa yang disebut hipotesis kuznets. Dengan memakai data lintas negara dan data data deret waktu dari sejjumlah survei diseluruh negara, simon kuznets menemukan adanya suatu realsi antara kesenjangan pandapatan dan tingkat pendapatan erkapita yang bebentuk U terbalik. Pada wala proses pembangunan, ketimpangan pendapatan bertambah besar sebagai akinat dae proses urbanisasi dan industriliasasi, namun setelah itu pada tingkat pemmbangunan yang lebih tinggi atau akhir dari proses pembangunan ketimpangan menurun, yakni pada saat sektor industrri di perkotaan sudah dapat menyerap sebagian besar dari L yang datang dari pedesaan.
Tingkat Kesenjangan
Periode
Tingkat Pendapatan Per Kapita
Hasil ini menginterpretasikan: Evolusi distribusi pendapatan dalam proses transisi dari ekonomi pedesaan ke ekonomi perkotaan (ekonomi industri) Pada awal proses pembangunan, ketimpangan distribusi pendapatan naik sebagai akibat proses urbanisasi dan industrialisasi dan akhir proses pembangunan, ketimpangan menurun karena sektor industri di kota sudah menyerap tenaga kerja dari desa atau produksi atau penciptaan pendapatan dari pertanian lebih kecil.
Banyak studi untuk menguji hipotesis Kuznets dengan hasil:
Sebagian besar mendukung hipotesis tersebut, tapi sebagian lain menolak
Hubungan positif pertumbuhan ekonomi dan distribusi pendapatan hanya dalam jangka panjang dan ada di DC’s
Kurva bagian kesenjangan (kiri) lebih tidak stabil daripada porsi kesenjangan menurun sebelah kanan.
Deininger dan Squire (1995) dengan data deret waktu mengenai indeks Gini dari 486 observasi dari 45 LDC’s dan DC’s (tahun 1947-1993) menunjukkan indeks Gini berkorelasi positif antara tahun 1970an dengan tahun 1980an dan 1990an.
Anand dan Kanbur (1993) mengkritik hasil studi Ahluwalia (1976) yang mendukung hipotesis Kuznets. Keduanya menolak hipotesis Kuznets dan menyatakan bahwa distribusi pendapatan tidak dapat dibandingkan antar Negara, karena konsep pendapatan, unit populasi dan cakupan survey berbeda.
Ravallion dan Datt (1996) menggunakan data India:
proxy dari pendapatan perkapita dengan melogaritma jumlah produk domestik (dalam nilai riil) per orang (1951=0)
proxy tingkat kesenjangan adalah indeks Gini dari konsumsi perorang (%)
Hasilnya menunjukkan tahun 1950an-1990an rata-rata pendapatan perkapita meningkat dan tren perkembangan tingkat kesenjangan menurun (negative).
Ranis, dkk (1977) untuk China menunjukkan korelasi negative antara pendapatan dan kesenjangan.
Hubungan Pertumbuhan dan Kemiskinan.
Hipotesis Kuznets: Pada tahap awal pembangunan tingkat kemiskinan meningkat dan pada tahap akhir pembangunan tingkat kemiskinan menurun.
Faktor yang berpengaruh pada tingkat kemiskinan:
Pertumbuhan
Tingkat pendidikan
Struktur ekonomi
Wodon (1999) menjelaskan hubungan pertumbuhan output dengan kemiskinan diekspresikan dalam:
Log Gkt = α + βLog Wkt + αt + ∑kt
Dimana:
Gkt : Indeks gini untuk wilayah k pada periode t
Wkt : Rata-rata konsumsi/pendapatan riil (rasio kesejahteraan) diwilayah k pada periode t
αt : Efek lokasi yang tetap
∑kt : Term kesalahan
Dalam persamaan tersebut, elastisitas ketidakmerataan distribusi pendapatan terhadap pertumbuhan merupakan komponen kunci dari perbedaan antara efek bruto (ketimpangan konstan) dan efek neto (efek dari perubahan ketimpangan) dari pertumbuhan pendapatan terhadap kemiskinan.
g : efek bruto (ketimpangan konstan)
l : efek neto (efek dari perubahan ketimpangan)
b : elatisitas ketimpangan terhadap pertumbuhan
d : elastisitas kemiskinan terhadap ketimpangan
PERTUMBUHAN KETIMPANGAN KEMISKINAN
maka,
Λ = γ + βδ
Elatisitas ketimpangan terhadap pertumbuhan dan elastisitas kemiskinan terhadap ketimpangan diperoleh dengan persamaan:
Log Pkt = w + Log Wkt + Log Gkt + wk + vkt
Dimana:
Pkt : Kemiskinan diwilayah k pada periode t
Gkt : Indeks gini untuk wilayah k pada periode t
Wkt : Rata-rata konsumsi/pendapatan riil (rasio kesejahteraan)
diwilayah k pada periode t
Wk : efek-efek yang tetap
vkt :term kesalahan
Studi empiris di LDC’s menunjukkan ada korelasi yang kuat antara pertumbuhan ekonomi dengan kemiskinan. Studi lain menunjukkan bahwa kemiskinan berkorelasi dengan pertumbuhan output (PDB) atau Pendapatan nasional baik secara agregat maupun disektor-sektor ekonomi secara individu.
Ravallion dan Datt (1996) dengan data dari India menemukan bahwa pertumbuhan output disektor-sektor primer khususnya pertanian jauh lebih efektif terhadap penurunan kemiskinan dibandingkan dengan sector sekunder.
Kakwani (2001) untuk data dari philipiana menunjukkan hasil yang sama dengan Ravallion dan Datt. Peningkatan output sektor pertanian 1% mengurangi jumlah kemiskinan 1% lebih sedikit. Peningkatan output sektor industri 1% mengurangi jumlah kemiskinan 0,25 saja.
Mellor (2000) menjelaskan ada tendensi partumbuhan ekonomi (terutama pertanian) mengurangi kemiskinan baik secara mangsung maupun tidak langsung.
Hasan dan Quibria (2002) menyatakan ada hubungan antara pertumbuhan dengan kemiskinan
ADB (1997) untuk NIC’s Asia Tenggara (Taiwan, Korsel, dan Singapura) menunjukkan pertumbuhan output di sector industri manufaktur berdampak positif terhadap peningkatan kesempatan kerja dan penurunan kemiskinan
Dolar dan Kraay (2000) menunjukkan elastisitas pertumbuhan PDB (pendapatan) perkapita dari kelompok miskin adalah 1% (pertumbuhan rata-rata 1% meningkatkan pendapatan masyarakat miskin 1%).
Timmer (1997) menyimpulkan bahwa elastisitas pertumbuhan PDB (pendapatan) perkapita dari kelompok miskin adalah 8% artinya kurang dari proporsional keuntungan bagi kelompok miskin dari pertumbuhan ekonomi
Untuk mengukur pengaruh pertumbuhan sektoral terhadap tingkat kemiskinan digunakan:
Ln P= a + b1 Ln Y1 + b2 Ln Y2 + b3 Ln Y3 + u + R
Dimana:
P : Fraksi dari jumlah populasi dengan pengeluaran konsumsi dibawah pengeluaran minimum yang telah ditetapkan sebelumnya (garis kemiskinan)
Y : Tingkat output per kapita untuk sector pertanian, inustri pengolahan, dan jasa
u dan R:term kesalahan
Ada korelasi yang negative antara tingkat pendapatan dan kemiskinan (semakin tinggi tingkat pendapatan perkapita, semakin rendah tingkat kemiskinan). Nilai koefisien korelasi untuk 4 wilayah.
3.12 Indikator kesenjangan dan kemiskinan
Cara untuk mengukur tingkat kesenjangan dalam distribusi pendapatan dengan:
Pendekatan Asiomatic mencakup:
The Generalied Entropy (GE)
GE( ■(n@α@)) = (1/(α2-α) |(1/n) ∑_(i=1)▒〖y_i/〗 〖y ̂)〗^α-1|
n=jumlah individu/orang dalam sampel
yi=pendapatan individu (i=1,2,…n)
y ̂ = (1/n)∑▒y_i adalah ukuran rata-rata pendapatan
Nilai GE terletak 0 sampai ∞. Nilai GE 0 berarti distribusi pendapatan merata dan GE bernilai 4 berarti kesenjangan yang sangat besar.
α = mengukur besarnya perbedaan antara pendapatan dari kelompok yang berbeda didalam distribusi tersebut dan mempunyai nilai riil
Ukuran Atkinson
A = 1 – |(1/n) ∑_(i=1)^n▒〖(y_i/〗 〖y ̂)〗^(1-ϵ) |^(1/(1-ϵ))
ϵ=parameter ketimpangan, 0<ϵ<1, semakin tinggi nilai ϵ, semakin tidak seimbang pembagian pendapatan.
Nilai α dari 0 sampai 1. Nilai 0 berarti tidak ada ketimpangan dalam distribusi pendapatan
Koefisien Gini
Gini = (1/2n2-y ̂ ) ∑_(i=1)^n▒∑_(j=1)^n▒〖|y_i-y_j 〗|
Nilai koefisien Gini dari 0 sampai 1. Nilai 0 berarti kemerataan sempurna dan nilai 1 berarti ketidakmerataan sempurna (satu orang/kelompok orang disuatu Negara menikmati semua pendapatan Negara).
Ide dasar perhitngan koefisien Gini adalah Kurva Lorenz
Kurva Lorenz menggambarkan distribusi komulatif pendapatan nasional diberbagai lapisan penduduk. Sumbu vertical presentase komulatif pendapatan nasional & Sumbu horizontal persentase komulatif penduduk.
a. Semakin dekat dg diagonal, 100
semakin merata pendapatan
80
b. Semakin jauh dg diagonal
semakin tidak merata pendapatan 60
50
40 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100
Indeks/Rasio Gini merupakan koefisien yang berkisar 0 sampai 1, yang menjelaskan kadar ketimpangan distribusi pendapatan nasional.
Semakin kecil angka ini, semakin merata distribusi pendapatan
Semakin besar angka ini, semakin tidak merata distribusi pendapatan
Angka Gini ini dapat ditaksir secara visual langsung dari kurva Lorenz. Semakin kecil angka ini ditunjukkan kurva lorenz yang mendekati diagonal yang berarti kecil luas area dan sebaliknya.
n
G = 1 – ∑ ( X t+1 – Xi ) ( Yi + Y t+1)
1
n
G = 1 – ∑ fi (Yi + Y t+1)
1
G = Rasio Gini
fi = Proporsi Jumlah Rumah Tangga dalam kelas t
Xi = Proporsi Jumlah Komulatif Rumah Tangga dalam kelas t
Yi = Proporsi Jumlah Komulatif Pendapatan dalam kelas t
3.13 Kriteria Bank Dunia.
Bank dunia mengklasifikasikan ketidakmerataan berdasarkan tiga lapisan:
40 % penduduk berpendapatan terendah Penduduk termiskin
40 % penduduk berpendapatan menengah
20 % penduduk berpendapatan tinggi
Tahun 1065 – 1970 laju rata-rata pertahun PDB 2,7 % dengan angka Gini rat-rata per tahun 0,35
1971 – 1980 laju rata-rata pertahun PDB 6 % dengan angka Gini rat-rata per tahun 0,4
Tahun 1065 – 1970 laju rata-rata pertahunPDB 2,7 % dengan angka Gini rat-rata per tahun 0,35
1981 – 1990 laju rata-rata pertahun PDB 5,4 % dengan angka Gini rat-rata per per tahun 0,3
Foster (1984) memperkenalkan 3 indkator untuk mengukur kemiskinan:
The incidence of poverty (rasio H) yaitu % dari populasi yang hidup adlam keluarga dengan pengeluaran konsumsi perkapita dibawah garis kemiskinan
The depth of poverty yaitu menggambarkan dalamnya kemiskinan disuatu wilayah yang diukur dengan Poverty Gap Index / indeks jarak kemiskinan (IJK) yaitu mengestimasi jarak pendapatan orang miskin dari garis kemiskinan sebagai proporsi dari garis tersebut.
Pa = (1/n) ∑_i▒[(z-y_j)/z] a untuk semua yi 1.
[(z-y_j)/z]= perbedaan antara garis kemiskinan (z) dan tingkat pendapatan dari kelompok ke I keluarga miskin (yi) dalam bentuk % dari garis kemiskinan.
[(z-y_j)/z]a= % eksponen dari besarnya pendapatan yang tekor dan jika dijumlahkan dari semua orang miskin dan dibagi dengan jumlah populasi, maka akan menghasilkan indeks Pa.
The severity of poverty/Distributionally Sensitive Index yaitu mengukur tingkat keparahan kemiskinan dengan indeks keparahan kemiskinan (IKK) atau mengetahui intensitas kemiskinan.
Peneliti lain memasukkan 2 faktor lain yakni rata-rata besarnya kekurangan pendapatan orang miskin dan besarnya ketimpangan dalam distribusi pendapatan antar orang miskin. Semakin rata-rata besarnya kekurangan pendapatan orang miskin, semakin besar gap pendapatan antar orang miskin sehingga kemiskinan bertambah besar. Dengan memasukkan 2 faktor tersebut, maka muncul Indeks Kemiskinan Sen:
S = H [I + (1-I)Gini]
I adalah jumlah rata-rata difisit pendapatan dari orang miskin sebagai % dari garis kemiskinan.
Koefisien Gini mengukur ketimpangan antar orang miskin.
Jika salah satu factor ini naik, maka kemiskinan meningkat.
Perubahan pola distribusi pendapatan dipedesaan disebabkan oleh:
Urbanisasi jaman ordebaru sangat pesat
Struktur pasar dan besar distorsi yang berbeda antara kota dan desa. Desa memiliki jumlah sektor, output per sektor, dan pendapatan perkapita lebih kecil daripada kota.
Dampak positif pembangunan nasional yang berbentuk: (a) berbagai kegiatan ekonomi di desa (perdagangan, industry dan jasa); (b) Produksitivitas dan pendapatan TK pertanian dan penggunaan teknologi pertanian meningkat; dan (c) pemanfaatan SDA yang lebih baik di desa.
3.14 Kebijakan anti kemiskinan
Kebijakan lembaga dunia mencakup World Bank, ADB, UNDP, ILO, dsb.
World bank (1990) peprangan melawan kemiskinan melalui:
Pertumbuhan ekonomi yang luas dan menciptakan lapangan kerja yang padat karya
Pengembangan SDM
Membuat jaringan pengaman social bagi penduduk miskin yang tidak mampu memperoleh dan menikmati pertumbuhan ekonomi dan lapangan kerja serta pengembangan SDM sebagai akibat dari cacat fisik dan mental, bencana, konflik social atau wilayah yang terisolasi
World bank (2000) memberikan resep baru dalam memerangi kemiskinan dengan 3 pilar:
Pemberdayaan yaitu proses peningkatan kapasitas penduduk miskin untuk mempengaruhi lembaga-lembaga pemerintah yang mempengaruhi kehidupan mereka dengan memperkuat partisipasi mereka dalam proses politik dan pengambilan keputusan tingkat local.
Keamanan yaitu proteksi bagi orang miskin terhadap goncangan yang merugikan melalui manajemen yang lebih baik dalam menangani goncangan ekonomi makrodan jaringan pengaman yang lebih komprehensif
Kesempatan yaitu proses peningkatan akses kaum miskin terhadap modal fisik dan modal manusia dan peningkatan tingkat pengembalian dari asset asset tersebut.
ADB (1999) menyatakan ada 3 pilar untuk mengentaskan kemiskinan:
Pertumbuhan berkelanjutan yang prokemiskinan
Pengembangan social yang mencakup: pengembangan SDM, modal social, perbaikan status perempuan, dan perlindungan social
Manajemen ekonomi makro dan pemerintahan yang baik yang dibutuhkan untuk mencapai keberhasilan
Factor tambahan:
Pembersihan polusi udara dan air kota-kota besar
Reboisasi hutan, penumbuhan SDM, dan perbaikan tanah
Strategi oleh pemerintah dalam mengentaskan kemiskinan:
Jangka pendek yaitu membangun sector pertanian, usaha kecil dan ekonomi pedesaan
Jangka menenga\h dan panjang mencakup:
Pembangunan dan penguatan sector swasta
Kerjasama regional
Manajemen APBN dan administrasi
Desentralisasi
Pendidikan dan kesehatan
Penyediaan air bersih dan pembangunan perkotaan
Pembagian tanah pertanian yang merata
4. kesimpulan
Memiliki banyak polemik dalam menuntaskan kemiskinan membuat Indonesia harus sesegera mungkin berbenah diri. Kemiskinan memang tidak mungkin dihilangkan, namun bukan tidak mungkin untuk mengurangi persentase kemiskinan. Negara yang ingin membangun perekonomiannya harus mampu meningkatkan standar hidup penduduk negaranya, yang diukur dengan kenaikan penghasilan riil per kapita. Indonesia sebagai negara berkembang memenuhi aspek standar kemiskinan diantaranya merupakan produsen barang primer, memiliki masalaha tekanan penduduk, kurang optimalnya sumberdaya alam yang diolah, produktivitas penduduk yang rendah karena keterbelakangan pendidikan, kurangnya modal pembanguan, dan orientasi ekspor barang primer karena ketidakmampuan dalam mengolah barang- barang tersebut menjadi lebih berguna.
0 comments:
Posting Komentar